Friday, 14 August 2020 17:51

MENDALAMI 7 TUNTUNAN TUHAN UNTUK PERUTUSAN KITA

Written by John Masneno
MENDALAMI 7 TUNTUNAN TUHAN UNTUK PERUTUSAN KITA dok. Sumur Yakub

Sahabat-sahabat Tuhan ytk!

Salam jumpa lagi melalui Ulasan Biblis Spiritual (UBS) di akhir pekan III bulan Agustus 2020 ini. Sebagaimana biasanya, kita diajak di awal refleksi akhir pekan ini untuk bersyukur atas segala tuntunan, perlindungan dan berkat Tuhan untuk kita semua selama 10.080 menit di pekan ini. (hening sejenak mengenang perjalanan, kegiatan, peristiwa, mereka yang telah mengambil bagian dalam perjalanan kita sepanjang pekan sembari bersyukur dan berterima kasih dari hati kita).

Kilas balik perjalanan pekan ini menghantar kita juga merenungkan pesan-pesan kehidupan melalui Sabda Tuhan yang diperdengarkan kepada kita, dan yang kita renungkan sepanjang minggu ini. UBS ini bertitik tolak dari Injil hari Minggu lalu tentang Kisah Yesus menyuruh murid-murid-Nya mendahului-Nya ke daerah seberang. Permintaan Yesus bagi para murid-Nya itu merupakana suatu mandat tugas perutusan bagi mereka. Sabda Tuhan sepanjang pekan ini berbicara juga tentang hal-hal penting yang perlu diperhatikan: dalam tugas perutusan dan kehidupn sosial bermasyarakat; dalam pelaksanaan tugas pewartaan; dalam kehidupan bersama; dan bagaimana membina hidup keluarga serta upaya bagi masa depan anak-anak. Mengingat kita semua adalah Murid dan Rasul tuhan yang telah dipanggil dan diutus sesuai jalan hidup dan tugas pengagdian kita, maka baiklah kita merenungkan 7 tuntunan Tuhan untuk tugas perutusan kita, yang disampaikan melalui Injil sepanjang pekan ini.  (Silahkan memilih topik yang cocok dengan situasi yang sedang dialami, atau topic yang menyentuh hati dan mau didalami secara pribadi untuk pendalaman iman)

  1. Hikmah di balik badai dan sikap Para Murid yang menganggap Tuhan sebagai hantu

Kisah Injil hari Minggu, 9 Agustus lalu itu mengingatkan kita bahwa tugas perutusan yang dimandatkan kepada setiap kita merupakan undangan dan kepercayaan yang diberikan Tuhan kepada kita untuk mengambil bagian dalam karya misi-Nya. Namun kisah itu juga memberikan ‘alarm’ bagi kita tentang salah satu realitas dalam perjalanan perutusan yakni tantangan alam yang berada di luar kendali manusia, seperti bencana alam, wabah penyakit, musibah tak terduga dll.

Ada satu peneguhan iman bagi kita dari kisah ini yakni Tuhan tak pernah membiarkan kita binasa. Yang dituntut dari kita dalam situasi demikian adalah keyakinan iman dan kemampuan ‘melihat’ kehadiran serta pertolongan Tuhan. Reaksi para murid mengangap Tuhan sebagai hantu menjadi suatu bahan refleksi bagi kita juga: apa yang menyebabkan para murid itu tidak mampu mengenal Tuhan yang sudah mereka ikuti sekian lama? Mengapa mereka memaknai kehadiran Tuhan sebagai hantu?

Salah satu jawabannya adalah adanya efek langsung dari pola atau budaya berpikir di tempat mereka yang biasanya menganggap hal seperti itu sebagai hantu. Maka tak heran mereka pun menganggap Yesus sebagai hantu, bukan karena sengaja tetapi karena mindset mereka yang dibentuk oleh budaya berpikir di tempat mereka. Maka pertanyaan untuk kita di sini adalah apa saja pola atau budaya berpikir yang mempengaruhi, bahkan menghalangi pertumbuhan iman saya kepada Tuhan, serta membuat saya tidak mampu mengenal kehadiran dan karya pertolongn Tuhan dalam situasi sulit yang saya alami?   

  1. Memupuk Semangat Pengorbanan Dalam Tugas Perutusan

Injil hari Senin,  10 Agustus tentang ajaran dan ajakkan Tuhan untuk menumbuhkan semangat rela berkorban menjadi satu bahan refleksi tersendiri bagi kita. Kita tahu bersama bahwa semangat hidup manusia modern yang lebih menaruh fokus perhatian kepada kepentingan diri sendiri, keluarga atau kelompoknya serta kepentingannya. Sebab itu, Yesus mengajak kita, para utusan-Nya untuk menumbuhkan semangat pengorbanan dalam menunaikan tugas perutusan kita. Tuhan sendiri memberikan contoh luar biasa dalam hal pengorbanan. Dia mengorbankan waktu, tenaga dan kepentingan diri-Nya bahkan nyawa-Nya sendiri demi kepentingan banyak orang. Maka sebagai pengikut-Nya, kita pun diajak menumbuhkan semangat pengorbanan untuk Tuhan dan sesama. Tentang hal ini setiap kita sudah berupaya dengan cara kita menghayatinya melalui sikap dan semangat kesiapsediaan kita meluangkan bahkan merelakan waktu, tenaga atau hal material untuk kepentingan sesama.  Maka kita diajak bersyukur dan mengenang bentuk-bentuk pengorbanan yang telah dihayati selama ini entah untuk keluarga, untuk tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan, dll.

  1. Ajakan Yesus mencontohi sikap seorang anak dalam relasi dengan Tuhan

Renungan saya di Website Karya Kepausan Indonesia Selasa, 11 Agustus lalu sudah mengulas hal ini (https://karyakepausanindonesia.org/2020/08/10/siapa-yang-terbesar-dalam-kerajaan-allah/). Tuhan meminta kita para pengikutnya mencontohi sifat anak kecil dalam relasi kita dengan Tuhan: polos, tulus, rasa ingin tahu , dan apa adanya. Dengan sikap-sikap demikian akan mendekatkan diri dengan Tuhan penuh kerinduan dan mau dituntun oleh bimbingan-Nya.

  1. Anjuran Yesus menerapkan pendekatan face to face dalam membicarakan kekurangan sesama

Yesus mengajak kita melalui Injil hari Rabu, 12 Agustus untuk memakai jalan pembicaaran terbuka ‘face-face’ (di hadapan 4 mata) dalam membicarakan kesalahan atau kekurangan sesama. Upaya menghayati anjuran Yesus akan membantu kita menghilangkan kebiasaan kurang terpuji dalam hidup bersama yang lebih suka membicarakan orang lain di ‘belakang-belakang’. Penerapan pendekatan face to face juga membantu kita mengikis kebiasan tidak baik seperti gossip dan bullying sesama hanya demi kesenangan psikologis tanpa rasa bersalah bahwa hal itu tidak pantas dihidupi dalam kebersamaan.

Kebiasaan bicara di belakang-belakang hanyalah memupuk sikap ketidaksatriaan dalam menyuarakan kebenaran serta kebaikan bersama, dan bisa dijadikaan ‘senjata’ untuk merusak ‘sesama’ apalagi dilanjutkan dengan sikap diam dan tidak tahu menahu ‘ibarat lempar batu sembunyi tangan’. Jalan ‘bicara di belakang-belakang’ malah memperumit situasi dan menjadi jalan yang merusak persaudaraan karena siapa saja tidak suka diperlakukan demikian. 

Yesus, humanist sejati, tahu betul manfaat jitu pendekatan face to face sebagai: jalan klarifikasi, jalan saling membantu dengan hati yang tulus serta cara mulia memupuk persaudaraan sejati. Menariknya Yesus menggandengkan nasihat-Nya itu dengan ajaran sosial spiritualnya tentang manfaat doa bersama yang melibatkan beberapa orang untuk suatu permintaan. Melihat korelasi vertical-horisontal ntara koreksi kepada sesama dan mendoakan hal itu kepada Tuhn, memang sangat tepat  karena ada kaitan erat di antara keduanya. Niat baik dan upaya memperbaiki situasi mestinya melibatkan Tuhan sehingga Roh Tuhan yang membimbing kita dari hati kita kita sehingga upaya tersebut bersumber pada Roh Kasih Persaudaraan sejati, bukan melulu kehendak manusiawi kita semata apalagi ‘terbungkus’ kepentingan-kepentingan tertentu di dalamnya. Singkatnya, keprihatinan pada kekurangan sesama dan upaya membantunya mestinya melalui pendekatan face face dengan orang itu sendiri dan dengan Tuhan.

  1. Kerelaan memaafkan dan mengampuni bila ada salah

Injil hari Kamis, 13 Agustus lalu mengingatkan kita akan amanah Yesus kepada kita semua agar menumbuhkan semangat pengampunan dan memaafkan dengan tulus dalam diri kita. Amanah itu bermula dari pertanyaan Petrus, murid-Nya tentang berapa kali harus memberikan pengampunan. Banyaknya jumlah angka (7x77) yang diberikan Yesus secara simbolis mau mengingatkan kita para murid-Nya bahwa sikap mengampuni dan memaafkan semestinya menjadi semangat hidup kita. Kesediaan Yesus memberikan pengampunan kepada mereka yang menolak, yang melawan dan membunuh Dia termasuk mengampuni orang-orang yang menyalibkan Dia merupakan contoh nyata bagi kita. Memang mudah diucapkan namun tak gampang mewujudkannya, khususnya dalam hal mengampuni dan memaafkan orang yang bebuat salah kepada kita. Apalagi kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, dengan tahu dan mau untuk maksud tertentu seperti yang dialami Yesus.

Perumpamaan Yesus tentang pengampunan merupakan tips spiritual bagi kita dalam upaya menghayati semangat pengampunan dalam diri kita. Hanya ketika orang menyadari diri sebagai orang yang tak sempurna, yang memiliki kerapuhan dan kelemahan akan muncul kesadaran untuk menghayatinya. Kesadaran diri akan sikap Allah yang selalu baik hati dan penuh belas kasih kepada kita akan menumbuhkan kesedian menghayati semangat pengampunan dan memaafkan dengan iklas pula.

Semangat hidup mengampuni dan memaafkan akan terkesan dipaksakan penghayatan bila dilakukan hanya sebatas mengikuti formalitas yang biasa dipakai dalam kehidupan social tanpa suatu keiklasan hati. Sikap memaafkan demikian akan tetap menumbuhkan ‘onak’ atau ‘ganjalan’ di hati dalam relasi sosial kita, khususnya dengan orang yang harus diampuni. Kerelaan memaafkan dengan iklas hati akan mendatangkan energi spiritual tersendiri dalam diri untuk menjalani suka duka hidup dengan kegembiraan.

Nelson Mandel memberikn contoh baik sekali tentang hal ini. Dia rela memaafkan orang-orang yang memenjarakan dia hanya karena upanya luhurnya demi kesejahteraan bersama Afrika Selatan. Sikap memaafkan yang iklas membuat dirinya mampu mentransformasi energi marah dan dendam menjadi energi positive konstruktif untuk mewujudkan visi-misinya membangun Afrika Selatan. Ketika ditanya tentang rahasia di balik semangat memaafkan yang berkobar-kobar dalam hidup dan perjuangannya, dia berkata: “as I walked out the door toward my freedom, I knew that if I did not leave all the anger, hatred, and bitterness behind that I would still be in prison (ketika melangkah keluar dari pintu penjara menuju kebebasanku, saya sadar bahwa kalau saya tidak tinggalkan amarah, benci, sakit hati, saya sebenarnya secara bathiniah masih tetap terpenjara). Bagaimana dengan kita: apakah kita seperti Mandela atau masih terpenjara dalam jeruji amarah, benci, sakit hati dll?”).

  1. Menghindari sikap tegar/keras hati

Pesan Yesus melalui Injil hari Jumat rasanya tetap relevan khususnya bagi para pasutri untuk direnungkan. Menjawabi pertanyaan boleh tidaknya cerai, Yesus dengan bijak memberikan alasan utama terjadinya perceraian yakni ketegaran hati atau keras hati. Di teks injil itu juga, Yesus memberikan alasan mendasar adanya hidup perkawinan yakni kekuatan cinta dari hati yang tulus sebagai ekspresi cinta Allah yang mempersatukan suami-istri dalam hidup perkawinan. Berdasar pada penjelasan Yesus tentang perceraian, Paus Fransikus juga mengungkapkan pandangannya tentang perceraian para pasutri Katolik dalam homilinya di Kapela St. Martha Vatican, pada 23 Januari  2017. Menurut Paus, ketegaran hati mengaburkan bahkan memblokir semangat cinta sejati dalam hati terhadap pasangan karena factor ketertarikan pada pihak lain (WIL/PIL). Maka Paus menganjurkan kepada pasutri untuk memupuk semangat cinta sejati dalam hati, memperhatikan keadilan dan belaskasih dalam kehidupan mereka: (the key is to hold love, justice and mercy together, not becoming obsessed with the fine points of legal interpretation).

  1. Menghantar anak-anak Tuhan bertemu Tuhan, bukan menghalangi mereka

Injil hari ini berbicara tentang keterbukaan hati Yesus menerima dan memberkati anak-anak. Di Injil yang sama, Yesus menegur sikap para murid yang menghalang-halangi anak-anak yang mau menemui-Nya. Pesan Sabda Tuhan ini mengajak semua pihak yang menaruh perhatian pada kehidupan anak-anak agar membawa mereka bertemu Tuhan, dan menghindari sikap yang menghalang-halangi mereka bertemu Tuhan, sumber sukacita dan kebahagiaan. Membawa mereka kepada Tuhan bisa dipahami juga sebagai sikap atau upaya yang membuat mereka bisa hidup dalam sukacita dengan memperhatikan kehidupan mereka agar bertumbuh secara seimbang dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan yang menjadi jembata masa depan mereka. Maka pertanyaan yang perlu direnungkan khususnya bagi para orang tua dan pendamping/pembina anak-anak: apakah kami sebagai orang tua mendukung anak-anak dengan segala daya upaya terbaik demi masa depan yang cerah, ataukah kami  seperti para murid Yesus yang menghalangi-langi mereka khususnya dalam hal menjamin kehidupan dan pendidikan mereka untuk masa depan yang cerah.

Mari kita merenungkan point-point intisari Sabda Tuhan di Pekan Biasa XIX, semoga bermanfaat dan membawa kesegaran rohani bagi kita semua. Tuhan memberkati kita selalu. Amin.

Oleh John Masneno, SVD (Sekretaris Eksekutif Pusat Spiritualitas Sumur Yakub).

Last modified on Friday, 21 August 2020 13:26

Kegiatan Terbaru

...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yohan...

25 October 2023
...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yohanes 15:5)

Bagaimana menyelaraskan nilai-nilai iman sejati dengan kecanggihan art...

PERAN SABDA DALAM GEREJA MISIONER

19 October 2022
PERAN SABDA DALAM GEREJA MISIONER

Pada hari Sabtu, 15 Oktober 2022 yang lalu, Komunitas Verbum Domini (K...

BILBE ZOOM IV PUSPITA SUMUR YAKUB BERSAMA KARDINAL SUHARYO

18 October 2022
BILBE ZOOM IV PUSPITA SUMUR YAKUB BERSAMA KARDINAL SUHARYO

Bible Zoom-Youtube Live-Streaming diadakan lagi oleh Tim Pengurus Pusa...

BILBE ZOOM III PUSPITA SUMUR YAKUB BERSAMA MGR. DR. SILVESTE...

16 October 2022
BILBE ZOOM III PUSPITA SUMUR YAKUB BERSAMA MGR. DR. SILVESTER SAN

Tim Pengurus Pusat Spiritualitas (Puspita) Sumur Yakub SVD-SSpS Indone...

BILBE ZOOM II PUSPITA SUMUR YAKUB BERSAMA P. LUKAS JUA, SVD

14 October 2022
BILBE ZOOM II PUSPITA SUMUR YAKUB BERSAMA P. LUKAS JUA, SVD

Tim Pengurus Pusat Spiritualitas (Puspita) Sumur Yakub SVD-SSpS Indone...

Tentang Kami

Nama yang dipilih untuk sentrum ini adalah “Pusat Spiritualitas Sumur Yakub” yang mempunyai misi khusus yaitu untuk melayani, bukan hanya anggota tarekat-tarekat yang didirikan Santu Arnoldus Janssen saja tetapi untuk semua... selebihnya

Berita Terbaru

©2025 Sumur Yakub - Pusat Spiritualitas. All Rights Reserved.

Search