Filipi 2:12-18 ; Mzr. 27 ; Lukas 14 : 25-33
Salam jumpa saudara/I sekalian melalui renungan ini, sarana rohani yang mengajak kita merenungkan hidup kita berdasarkana tuntunan Sabda Tuhan. Tentu saja saudara/I juga telah membaca dan merenungkan Sabda Tuhan hari ini. Apa yang saya sampaikan di sini bertolak dari permenungan saya tentang pesan-pesan menarik dari Sabda Tuhan hari ini.
Secara pribadi teks-teks Biblis hari ini khususnya Injil, bertemakan situasi hidup berkeluarga, mengingatkan saya akan pengalaman pribadi yang pernah saya alami dalam kehidupan keluarga saya beberapa tahun silam. Saya terdorong membagikan pengalaman ini sebagai suatu kesaksian iman akan karya Tuhan dan Roh-Nya dalam keluarga saya, sekaligus membenarkan ajaran belaskasih yang diajarkan Yesus di Injil hari ini.
Kami memiliki 3 orang anak putra. Putra pertama kami pernah dipengaruhi oleh masa lalunya yang pernah gagal kuliah 4 tahun karena pada waktu pengumpulan skripsi dia ditolak oleh dosen dan dicaci maki, akhirnya putus kuliah. Mungkin hal inilah yang membuat dia mengalami luka batin, dan sejak saat itu muncul sifat dalam dirinya yakni tidak mau berkomunikasi dengan kami di rumah. Sebagai seorang mama, saya berusaha memahami dan mendampinginya, meski harus menanggung resiko lahir bathin bila emosi mulai kumat. Dia sangat sensitive terhadap hal-hal dan milik pribadinya, padahal sebenarnya hal biasa dalam keluarga seperti membersihakan kamarnya, atau merapikan barang permainannya. Saya kadang dicaci-maki bila membersihkan kamar tidurnya dan barang-barang kesayangannya (Robot Jepang). Pokoknya untuk dia itu menjadi ganguan untuk dia.
Pernah kami mendapat kesempatan giliran doa rosario lingkungan di rumah kami, maka saya harus bersihkan rumah termasuk kamar tamu kami yang menjadi tempat dia bermain game. Namun justru hal itu menjadi naas bagi saya. Sebenarya saya sudah izin dia untuk rapikan tempat mainnya di ruang tamu, tapi dia hanya diam saja, tetap tidak mau berkomunikasi. Sialnya, pada waktu saya membersihkan meja gamenya, stop kontak listrik kesenggol tangan saya maka jadinya listrik padam dan gamenya mati/putus. Alhasil, dia naik pitam dan semua barang dihancurkannya.
Saya hanya diam dan menangis tetapi dia tetap emosi dan memaki-maki dengan keras, bahkan melarang kami tidak boleh berdoa rosario di rumah malam itu. Sebagai seorang ibu yang tahu baik apa yang terjadi bila kami tetap memaksakan diri berdoa di rumah, maka akhirnya malam itu saya harus minta kesediaan umat lain untuk memberi tempat di rumah mereka bagi doa Rosario kami. Malam itu juga saya dan papanya serta si bungsu pergi meninggalkan rumah, dan tinggal di rumah putra kedua kami. Adanya banyak perjuangan bathin dalam pengalaman ini termasuk bagaimana mengamalkan ajaran Yesus hari ini tentang kesediaan memikul salib.
Inilah satu pengalaman salib yang harus kupikul dalam keluargaku. Satu penderitaan batin yang membuat hati saya cukup lama tidak bisa berdamai dengan diri sendiri, mempersalahkan diri sebagai orang tua dan juga kadang mempersalahakan anakku itu. Setiap misa ekaristi harian, saya selalu bersujud di depan Bunda Maria mohon rahmat pengampunan untuk diriku dan untuk anggota keluargaku (anakku). Sabda Tuhan hari ini khususnya ajaran Yesus mengenai Salib menyapaku menyadari bahwa tanggung jawab sebagai seorang mama anakku ini adalah suatu bentuk salib yang harus kupikul dan jalani demi sesuatu yang lebih baik.
Pengalaman ini menyadarkan saya pula bahwa ketika saya mau mengikut Yesus, Dia meletakkan salib di atas pundak saya untuk saya pikul sebagai harga yang harus saya bayar kalau mau menjadi murid-Nya. Salib yang dimiliki oleh setiap orang wujudnya berbeda-beda, tetapi hakekatnya sama. Hakekat salib adalah kerelaan menderitaan demi suatu situasi hidup yang lebih baik. Saya sudah berulang kali merenungkan makna jalan Salib yang dilakukan di Gereja, namun pengalaman nyata ini mendidik saya menyadari bahwa salib selalu bermakna kerelaan menderitaan demi kebenaran dan kebaikan sejati. Penderitaan karena taat kepada Kristus dan firman-Nya. Karena taat kepada Kristus, maka saya menderita dan itulah salib kehidupan saya. Paulus mengatakan kita tetap bertekun dalam penderitaan. Sekalipun ada salib, kalau saya dengan tekun memikulnya, saya layak menjadi murid Yesus.
Awalnya memang sulit walaupun sudah curhat kepada seorang suster namun mata saya terus menitikkan air mata kepedihan atas pengalaman ini. Saya berdoa memohon kepada Yesus dan Bunda Maria untuk mengampuni. Syukurlah Tuhan yang Mahatahu dan penuh belaskasih bekerja dalam bimbingan Roh-Nya menumbuh sikap rela memaafkan dan mau berdamai dengan anakku itu. Perjuangan demi perjuangan akhirnya seiring beredarnya waktu saya sudah bisa mengampuni dia. Kata-kata salah satu lagu favorit saya Kala kucari damai hanya kudapat pada Yesus menjadi peneguh tersendiri bagiku di saat-saat harus menjalani salib ini.
Dengan mengampuni, saya mulai merasa kasihan pada anakku ini dan setiap hari saya dan bapaknya datang mengantarkan makan siang dan sore, serta mencuci perlengkapan makannya dan membersihkan dapurnya. Jujur saja, awalanya saya masih trauma ketika memasuki ruang tamu karena terbayang kejadian sebelumnya. Puji Tuhan akhirnya bisa melewati pengalaman pahit itu berkat bantuan Tuhan yang mendengarkan doa-doa kami. Kami pun akhirnya mulai berkomunikasi lagi seperti semulanya. Dan semenjak saat itu terasa penuh kedamaian dalam menjalankan kehidupan saya sampai saat ini. Saya pun terus mendoakan dia, saya bersyukur Tuhan memampukan saya menjalani pengalaman salib ini, dan mematangkan iman dan pemahaman saya tentang ajaran-Nya ini berdasarkan pengalamanku sendiri.
Sekian sharing saya ini semoga bermanfaat bagi saudara/I. Doaku agar Tuhan memberkati dan memampukan kita memikul salib-salib kita.
Oleh Theresia Gobardja (Paroki HSPMTB Tangerang-Banten)