Tuhan punya cara menyapa kita dalam perjalanan hidup kita melalui hal-hal atau peristiwa yang sederhana dan biasa-biasa namun punya daya sapa luar biasa bila kita menaruh perhatian pada sapaan-sapaan sederhana itu. Sejalan dengan kebenaran itu, kita diajak merenungkan refleksi singkat seorang Frater -Fr. Wilfridus Oki, SVD namanya- yang disampaikan pada Misa Kudus di Kapela Agung Ledalero dalam rangka memperingati kematian Santu Yohanes Pembaptisan.
Refleksi Fr. Wil menyampaikan refleksinya yang singkat tapi sungguh bernas untuk direnungkan. Refleksinya berkaitan dengan pesan Injil Markus 6: 17-19 yang berisi tentang permintaan Herodias melalui putrinya kepada Raja Herodes untuk menyerahkan baginya kepala Yohanes Pembaptis. Renungan singkat Fr Wil mengandung kebenaran yang perlu direnungkan oleh siapa saja karena bernada introspektif. Berikut ini adalah renungan singkat yang disampaikan Fr Wil saat misa pagi di Kapela Agung Seminari Tinggi Ledalero dalam rangka memperingati Kematian Santu Yohanes Pembaptis:
Saudara-saudariku yang terkasih dalam Kristus,
Acapkali manusia malu kalau dicap penjilat ludah sendiri. Manusia, termasuk kita semua, enggan menarik kembali setiap kata (apalagi sumpah) yang kita ucapkan kepada orang lain walau hal itu berakibat buru bagi diri kita dan orang di sekitar kita. Mungkin bisa dikatakan bahwa kita kerap kali dikuasai oleh ego dan gengsi.
Raja Herodes dalam kisah kematian Santu Yohanes Pembaptis menyuruh memenggal kepala Yohanes Pembaptis hanya karena dia mau menyenangkan hati putri Herodias dan terlebih menjaga gengsinya di depan para tamu yang hadir saat itu dan mendengar langsung janjinya kepada Putri Herodias bahwa dia akan memberikan apa saja yang dimintanya. Herodes sendiri sebenarnya mengalami konflik bathin saat harus mengambil keputusan untuk menyuruh para alogojo memenggal kepala Yohanes Pembaptis. Alasannya karena dia tahu baik bahwa Yohanes Pembaptis adalah orang baik dan suci yang mewartakan kebenaran dalam kata dan hidupnya. Karena alasan itu maka sebenarnya Herodes melakukan suatu tindakan yang sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri.
Kisah naas ini ditulis dalam Kitab Suci agar pertama, menjadi peringatan bagi kita dari waktu ke waktu agar kita lebih berhati-hati dalam bertutur dan bertindak khsussnya dalam kata dan tindakan kita yang berhubungan erat dengan nasib orang lain. Kita diajak untuk tidak secara gamlang atau seenaknya saja membuat sumpah atau mengeluarkan kata-kata kepada siapa saja tanpa terlebih dahulu memikirkanya secara matang efeknya. Kita perlu mempertingkan akibat-akibat buruk sebagai konsekuensi lanjut dari ucapan dan tindakan kita.
Pesan kedua dari kisah ini yakni, hendaknya peringatan kematian Santu Yohanes Pembaptis semakin mengobarkan semangat dan tekad kita sebagai abdi-abdi Tuhan untuk tetap menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam hidup kita. Pewartaan ini hendaknya dimulai dari kesaksian hidup pribadi kita dalam keseharian hidup kita sehingga apa yang kita suarakan kepada orang lain dibenarkan juga oleh sikap hidup harian kita.
Tuhan memberkati kita selalu.
(Fr Wilfridus Oki, SVD, Tingkat II Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero-Maumere Flores-NTT)